Warkah Dokumen Penting: Atas Data Kepemilikan Hak Milik Perorangan Dan/Atau Kelompok

Caption : Sebagai Ilustrasi Warkah BPN & Sertipikat Hak Milik ( SHM ) Yang Sedang Di Perkarakan Penggugat & Tergugat Di Pengadilan Negeri Gedong Tataan Kls II Pesawaran

Artikel – Warkah : Dokumen penting arsip Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan data yuridis normatif dan formal landasan dasar pengakuan atas bukti kepemilikan atas hak tanah dan bangunan baik perorangan atau kelompok.

Simak dan cermati pada pemikiran rasional memecahkan persoalan terkait kerap dan terjadi di tengah – tengah masyarakat yang berkedudukan di Nagara Kesatuan Republik Indonesia di dalam hal Konflik Agraria.

Pedoman umum : pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengatur pemanfaatan serta menjamin dalam kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang akan dimilikinya.

Sehingga tanah bisa/dapat berfungsi dan optimal untuk meningkatkan kemakmuran bagi rakyat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Demi untuk memperoleh kepastian hukum dan kepastian akan hak atas tanah lahirlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 tahun 1960. Sebagai bentuk pengaturan hukum Agraria di Indonesia.

UUPA menyebutkan untuk menjamin hak dan kepastian hukum maka di dalam hal tersebut diwajibkan bagi perorangan atau kelompok usaha untuk mendaftarkan hak atas tanahnya untuk mendapatkan bukti hak.

Sebagaimana Pasal 19 UUPA menyebutkan bahwa “Pemberian Surat Tanda Bukti Hak Kepemilikan Atas Tanah Dan Yang Berlaku Sebagai Alat Pembuktian Yang Kuat” yaitu Sertipikat di terbitkan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR – BPN).

Pemberian tanda bukti hak tersebut diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.

Untuk mendapatkan bukti hak kepemilikan tersebut seseorang atau kelompok usaha harus memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan ” Badan Pertanahan Nasional”
atau BPN sebagai dasar dari pendaftaran tanah, tentu harus memiliki syarat-syarat.

Maka syarat-syarat tersebut merupakan berkas-berkas sebagai dasar pembuktian data fisik dan data yuridis, disebut sebagai warkah alas hak kepemilikan atas terbitnya buku sertipikat.

Warkah ini perannya untuk sebagai dasar pembuktian terhadap penguasaan tanah secara yuridis, untuk menentukan apakah seorang dan/atau kelompok usaha selaku pemohon tersebut akan berhak atau tidak mendapatkan bukti hak berupa sertipikat
penguasaan secara yuridis.

“inilah permulaan dari adanya pengakuan hak keberadaan warkah sebagai salah satu arsip di kantor pertanahan tidak hanya itu warkah berfungsi bukan hanya seseorang atau kelompok usaha untuk mengajukan pendaftaran saja.

“Namun ketika orang atau kelompok usaha tersebut terjadi Sengketa pada tanah yang telah mendapatkan bukti pembebasan hak dari negara sebagai bukti kepemilikannya,
maka warkah menjadi salah satu alat bukti tertulis yang digunakan oleh Pengadilan.

Kemudian salah satu jenis warkah adalah Letter c yang merupakan bukti perolehan hak yang berasal dari tanah adat, sebelum lahirnya UUPA letter c digunakan sebagai bukti hak milik, yang akan menjadi tanda bukti dalam perkara perdata di pengadilan.

Selanjutnya setelah lahirnya UUPA jo. PP 24 Tahun 1997 menempatkan ” Letter c sebagai bukti hak lama, di kedudukannya sebagai alas hak, maka sebagai bukti sah
yang dapat digunakan merupakan sebagai bukti alas hak kepemilikan adalah : Bukti pendaftaran tanah dalam bentuk “Sertipikat atas bukti otentik di dalam perkara perdata (sengketa tanah) yang di perkarakan dan di
dampingi dengan bukti-bukti lain sebagai bukti yang sah secara hukum.

Kesimpulan penulisan di dalam artikel ini, pada dasarnya bilamana orang sendiri atau sekelompok badan usaha, telah memiliki Sertifikat kecil kemungkinan dapat terjadi perkara perdata (sengketa).

Sertipikat : Bukti Kepemilikan Sah Secara Hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seterusnya ketahuilah jenis-jenis sertifikat tanah dan alas hak kepemilikan atas tanah baik perorangan maupun kelompok usaha lain dan tanah yang masih berstatus tanah adat ” 1. Sertifikat Hak Milik (SHM) 2. Hak Guna Bangunan (HGB) 3. Hak Guna Usaha (HGU) dan lainnya. Berikut ini merupakan penjelasan jenis-jenis sertifikat dan surat tanah.

1. SHM

SHM merupakan sertifikat atas kepemilikan penuh hak suatu lahan dan/atau tanah yang dimiliki oleh pemegang sertifikat tersebut. Sertifikat tersebut membuat pemilik tanah akan terbebas dari masalah legalitas atau sengketa. Hal itu karena pihak lain tidak bisa campur tangan atas kepemilikan tanah atau lahan tersebut.

Pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 20 dijelaskan, hak milik atas tanah adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Maka dari itu, SHM berarti bukti kepemilikan tertinggi atau terkuat atas suatu tanah yang berlaku untuk selamanya dan dapat diwariskan.

Adapun, SHM dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa PPAT diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai hak atas tanah

Di dalam SHM terdapat keterangan nama pemilik, luas tanah, lokasi properti, gambar bentuk tanah, nama objek atau tetangga pemilik tanah yang berbatasan langsung, tanggal penetapan sertifikat, nama dan tanda tangan pejabat yang bertugas, serta cap stempel sebagai bukti keabsahan sertifikat.

Sebagai informasi penting bahwa – SHM – hanya dapat di miliki oleh warga negara Indonesia.

Karena itu, warga negara asing tidak dapat memiliki tanah dengan SHM.

Apabila warga negara asing tersebut memperoleh tanah dengan SHM karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta perkawinan, maka wajib untuk melepaskan hak milik dalam jangka waktu satu tahun.

Keuntungan memiliki SHM : ada terdapat beberapa keuntungan dengan memiliki SHM dibanding sertifikat tanah lainnya, seperti:

– SHM memberikan kewenangan bagi pemilik tanah untuk melakukan segala macam keperluan di atas tanah tersebut.
– SHM berlaku selama pemiliknya masih hidup.

– SHM dapat diturunkan kepada ahli waris selama memenuhi sejumlah syarat dan ketentuan perundang-undangan.

– Kedudukan dan keleluasaan SHM lebih tinggi dibandingkan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) ataupun Hak Guna Bangunan (HGB).

– SHM dapat diperjualbelikan, disewakan, diwariskan, digadaikan hingga dijadikan jaminan utang dana ke bank.

2. HGB

Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Adapun, jangka panjang waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama sampai 20 tahun.

Di sisi lain, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, HGB di atas tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperbarui dengan akta pemberian HGB di atas hak milik. Setelah jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan selesai, tanah HGB kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah hak pengelolaan.

Sebagai informasi, HGB ini dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain. Perlu diketahui, yang dapat memiliki HGB yaitu warga negara Indonesia (WNI) serta badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berada di Indonesia.

3. HGU

Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 (UUPA), Hak Guna Usaha (HGU) merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu. Adapun usahanya untuk pertanian, perikanan, atau peternakan.

HGU ini diberikan atas tanah sedikitnya 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.

Adapun HGU diberikan untuk paling lama 25 tahun dan untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha untuk paling lama 35 tahun. Adapun HGU dapat diperpanjang hingga 25 tahun.

HGU hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Apabila pemilik HGU tidak memenuhi syarat, maka HGU harus melepaskan atau mengalihkan hak kepada pihak yang memenuhi syarat dalam jangka waktu 1 tahun.

4. Hak Pakai

Menurut Undang-undang nomor 5 tahun 1960 (UUPA), hak pakai merupakan hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya di lakukan oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau di dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan atas perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan dalam ketentuan Undang-undang ini.

Adapun Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Pemberiannya dapat dilakukan cuma-cuma, pembayaran, atau pemberian jasa apapun.

Meski demikian, yang bisa mempunyai hak pakai yaitu WNI, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

5. Girik

Girik biasanya merujuk pada tanah yang belum bersertifikat, tanah Girik adalah tanah yang dikuasai oleh salah satu pihak yang memiliki Girik atau bukti pembayaran pajak atas tanah yang bersangkutan kepada Otoritas kolonial.

Ya, status tanah girik memang sudah ada sejak zaman kolonial. Namun demikian, status tanah girik bukan merupakan bukti kepemilikan tanah atau hak atas tanah, melainkan hanya bukti pembayaran pajak.

Karena belum diakui sah secara utuh sebagai bentuk kepemilikan, maka dapat ditingkatkan menjadi SHM. Hal itu supaya tanah yang dimiliki berstatus hak milik dan tersertifikasi sah secara hukum.

6. Petok D

Petok D atau Letter D merupakan salah satu syarat untuk pengkonversian tanah milik adat menjadi hak milik. Sebelum adanya UUPA, Petok D merupakan surat tanah untuk membuktikan kepemilikan tanah yang diakui kekuatan hukumnya.

Namun, setelah UUPA diterapkan, status Petok D hanyalah menjadi alat bukti pembayaran pajak tanah.

7. Letter C

Letter C atau dokumen C merupakan buku registrasi pertanahan atas kepemilikan tanah di suatu wilayah secara turun temurun.

Biasanya, buku Register pertanahan Letter C disimpan oleh Kepala Desa atau Kepala Lurah setempat.

Sementara itu, warga memegang kutipan Letter C tanah, dan bukti-bukti lainnya. Meskipun dapat menjadi bukti yang sah atas kepemilikan tanah, namun Letter C tidak memiliki hukum yang cukup kuat. Maka dari itu, sebaiknya Letter C diubah menjadi SHM.

Itulah sajian kami beberapa macam bentuk sertifikat dan/atau surat tanah. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

× Chat Redaksi